Musim hujan sudah datang. Seperti biasanya, beberapa tempat di Indonesia sudah mengeluh tentang banjir. Sebut saja mulai daerah Palopo, Padang, Bandung, Semarang, sampai DKI Jakarta sebagai ibu kota Indonesia sendiri.
Banjir merupakan agenda tahunan yang tidak dapat dilewatkan dalam pembahasan rapat-rapat dalam tiap strategi pembangunan di Indonesia ke depan. Perang melawan banjir merupakan tema sentral dalam pembahasan ramai saat ini. Banjir dianggap sebagai musuh nyata bagi mereka yang tinggal di kota besar.
Tampaknya kita sudah bosan mendengar upaya mengantisipasi banjir sebagai musuh nyata manusia di Indonesia ini. Sebab, selalu saja upaya itu diakhiri dengan kekalahan dan kerugian pada manusia.
Sebut saja, tindakan Sutiyoso terdahulu yang membersihkan daerah aliran sungai (DAS) di Jakarta. Begitu juga pembenahan daerah serapan di Bandung, Puncak, dan Cianjur (Bapuncur). Dengan logika mudah, aliran sungai harus diperlebar dan jalan sungai tidak boleh terganggu.
Apakah cukup di situ saja mempersoalkan masalah banjir?
Beberapa waktu lalu, dari hasil riset yang dilakukan penulis di DAS Ciliwung di Jakarta, khususnya di daerah Kalibata, Condet, Tebet, dan Cawang, didapat temuan yang cukup menarik, yakni adanya potensi konflik yang bakal muncul bersamaan dengan fenomena banjir tahunan di Jakarta.
Kemungkinan munculnya benturan sosial itu berangkat dari perasaan terasing dan tersisihkan kelompok masyarakat tertentu akibat banjir. Adanya perlakuan yang tidak seimbang, tidak adil, dan tidak sesuai oleh pemerintah dalam penanganan banjir itu dapat memicu konflik.
Pada kenyataannya, ketika terjadi banjir, yang muncul adalah rasa kesedihan, terlempar, dan tersisihkan dari masyarakat yang normal. Banjir adalah sebuah bencana dan harus dihadapi sendiri oleh korban. Tidak ada yang bakal menolong walau pemerintah sekalipun.
Banjir bagi banyak orang, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), partai politik (parpol), kandidat pilkada, dan para calon anggota legislatif (caleg) adalah keriaan yang dapat ditunggangi dengan popularitas guna memuluskan jalan mereka dalam ajang pemilu mendatang.
Apalagi ditambah dengan sikap pemerintah daerah (pemda) yang selalu lamban dan terlambat dalam bertindak. Perhatikan posko-posko bencana yang selalu ada di tempat yang sulit dicapai para korban.
Posko juga hanya membuat kesenjangan di antara para korban dan menimbulkan perasaan pilih kasih bagi mereka. Apalagi, posko-posko dadakan yang dibuat bukan dari swadaya masyarakat karena mereka bekerja atas kepentingan diri, bukan untuk membantu korban.
Pada akhirnya, para korban banjir akan makin terpuruk dan tertindas. Mereka tidak bisa lari dan meminta perlindungan kepada pihak-pihak yang dianggap berwenang. Mereka merasa sebagai ajang permainan saja dan diperlakukan layaknya aktor figuran dalam skenario sebuah drama besar yang harus menyokong si aktor utama, yaitu oknum yang bermain di balik bencana banjir tersebut.
Banjir dan Potensi Konflik