Melihat Kemajuan Amerika Dari Perpustakaannya

Melihat Kemajuan Amerika Dari Perpustakaannya

Perpustakaan merupakan indikator kemajuan bangsa. Kalimat tersebut terbukti benar setelah saya berkunjung ke berbagai perpustakaan di Amerika Serikat atas biaya dari The Asia Foundation. Saya beruntung terpilih mewakili Indonesia untuk mengikuti study tour selama dua minggu dengan tema “ Re-Envisioning Libraries to Meet Community Needs: Information Science in the Service of the Public”. Kegiatan ini diikuti oleh sembilan negara yang senasib sepenanggungan (sebagai negara berkembang), yaitu Indonesia, Sri Lanka, Kamboja, Laos, Myanmar, Nepal, Pakistan, Mongolia, dan Vietnam.

Setiap hari kami berkunjung ke berbagai jenis perpustakaan mulai dari perpustakaan umum (public library), perpustakaan perguruan tinggi, perpustakaan sekolah, perpustakaan negara (state library), dan perpustakaan komunitas (community libarary). Kami juga setiap hari mengamati hal-hal yang berkaitan dengan perpustakaan dan kemudian dilanjutkan berdiskusi dengan pimpinan, staf, dan para relawan perpustakaan dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore.

Hari pertama kami dibawa ke perpustakaan umum Martin Luther King yang menyatu dengan perpustakaan San Jose State University di San Fernando, San Jose. Pertama kali memasuki perpustakaan saya kaget karena seperti memasuki supermarket atau mall di Indonesia, baik dari segi fisik bangunan maupun dari banyaknya pengunjung. Seumur hidup baru kali itu saya masuk ke perpustakaan yang memiliki eskalator.

Perpustakaan ini berlantai delapan (minimal perpustakaan umum setingkat provinsi di Amerika berlantai lima). Setiap lantai dilapisi dengan karpet yang bagus dan bersih, penerangan yang bagus, sirkulasi udara yang sejuk, dan suasana yang nyaman. Perabotan dan peralatan dirancang dengan desain yang memadukan antara kegunaan dan nilai artistik. Di bagian depan terdapat kantin tempat pengunjung memesan makanan atau minuman, bukan tempat nongkrong.

Berbagai macam ruangan dibuat disesuaikan tema ruangan, apakah untuk koleksi khusus bursa kerja, untuk anak, atau untuk menampilkan protipe mesin, dan lain-lain. Para seniman atau desainer diberi kebebasan berekspresi menuangkan ide dan kretivitasnya untuk membuat display, menata ruangan, dan rambu-rambu serta media promosi perpustakaan. Dan semua itu tentu saja untuk dinikmati oleh pengunjung perpustakaan.

Kami dibawa “wisata” ke seluruh ruangan yang ada di perpustakaan. Wisata dipandu oleh staf humas perpustakaan yang seperti sales pormotion girls (SPG), sangat menarik untuk dilihat dan tidak membosankan pada saat diajak bicara. Kalau di Indonesia biasa dipajang pada saat penjualan mobil, pameran properti, atau ekspo barang-barang mewah. Pemandu sangat menguasai isi perpustakaan. Dia jelaskan semua koleksi, ruangan, dan rambu-rambu yang terpajang di perpustakaan.

Para pegawai yang ada terlihat percaya diri dan senang dengan pekerjaannya, serta tidak canggung dan malu untuk mengatakan “I am librarian”. Tidak seperti di kita yang masih banyak orang merasa minder bekerja di perpustakaan, karena masih ada stigma bahwa perpustakaan adalah tempat orang-orang buangan atau tempat peristirahatan orang-orang bermasalah.

Ini cerita lama yang saya buktikan sendiri. Baru-baru ini saya berkesempatan berkeliling mengunjungi perpustakaan-perpustakaan umum di daerah kota atau kabupaten dan berdiskusi dengan kepala perpustakaannya. Dari pembicaraan yang terjadi saya mendapat kesan masih banyak kepala perpustakaan karena terpaksa dan mereka merasa dibuang. Sehingga menimbulkan sikap frustrasi, apatis, malah ada yang seperti autis dengan dunia perpustakaan.

Berkaitan dengan koleksi perpustakaan. Semula saya membayangkan bahwa sudah tidak ada atau sudah sedikit koleksi yang berupa buku atau barang tercetak lainnya berjejer di rak. Semuanya sudah beralih bentuk kepada koleksi elektronik atau digital. Sehingga slogan paperless library yang sering dituturkan oleh para akademisi betul-betul terjadi di sana. Akan tetapi ternyata saya keliru sebab koleksi utama perpustakaan masih berupa deretan buku atau media tercetak lainnya.

Di Indonesia, kita sedang terobsesi atau demam dengan perpustakaan digital. Saking dianggap urgennya masalah ini maka dibuatlah Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia (KPDI) yang diadakan secara ritual setiap tahun dengan hasil seperti biasa hanya rekomendasi. Sampai hari ini sudah lima kali diadakan konferensi, tetapi perpustakaan digital Indonesia masih belum terwujud. Yang menyentakan saya adalah mereka malah bertanya “betulkah ada perpustakaan digital? karena di sini (Amerika) infrastruktur seperti gedung dan lain-lain masih diperlukan.

Jadi apa yang dimaksud dengan perpustakan digital?” Sebagai perbandingan, perpustakaan San Francisco yang infrastruktur teknologi informasinya cukup canggih belum menerapkan perpustakaan digital. Selain pertimbangan faktor sosial budaya, juga karena memerlukan dana yang sangat besar.

Karena tradisi ilmiah sudah lama mengakar pada masyarakat Amerika, maka sebenarnya tidak heran apabila berimplikasi kepada kebiasaan mengunjungi perpustakaan. Menurut penuturan direkturnya perpustakaan setiap hari dikunjungi tidak kurang dari 2000 orang. Akan tetapi ternyata jumlah pengunjung ini tidak seberapa bila dibandingkan dengan Perpustakaan Umum San Franciso yang setiap tahunnya dikunjungi oleh 6 juta orang. Padahal penduduk San Francisco hanya berjumlah 800.000 orang.

Saya tercengang dengan fakta ini, karena perpustakaan-perpustakaan yang saya kunjungi tidak jauh dari silicon valey. Juga di sekitar sinilah Google dan Apple berada. Daerahnya Steve Jobs bung! Saya sering mendengar alasan mengapa masyarakat Indonesia tidak datang ke keperpustakaan, yang selalu dijawab karena sudah jaman teknologi informasi dengan segala kecanggihannya, semuanya sudah ada di laman tablet atau iPad misalnya.

Akan tetapi mengapa perpustakaan di Amerika yang teknologinya jauh lebih canggih daripada di Indonesia selalu ramai dikunjungi masyarakat. Dan buku tetap saja banyak dipinjam oleh pengunjung. Menurut penelitian terakhir di Kota Bandung, ternyata bahwa 70% lebih pengguna teknologi informasi hanya untuk gaya hidup.

Kunjungan kemudian beralih ke Perpustakaan Umum Sacramento (setingkat perpustakaan wilayah atau provinsi) yang berlantai 8. Perpustakaan ini memiliki cabang di daerah-daerah yang dipandang strategis. Perpustakaan cabang dibuat dengan asumsi bahwa tidak semua penduduk dengan mudah datang ke perpustakaan pusat, sehingga perpustakaan pusatlah yang harus proaktif mendekatkan diri kepada penduduk yaitu dengan membuka cabang.

Dengan bantuan teknologi informasi semua perpustakaan cabang terhubung dalam sebuah jaringan yang terintegrasi. Sehingga pengunjung dapat mencari informasi atau buku yang ada di perpustakaan pusat atau cabang yang lain. Saya juga berkunjung ke perpustakaan-perpustakaan cabang, semuanya ramai dikunjungi oleh pengunjung. Program yang ada dipusat diterapkan di perpustakaan cabang dengan tambahan program unggulan dari masing-masing cabang.

Perpustakaan publik benar-benar menjadi milik publik, menjadi ruang publik. Menjadi pusat aktivitas masyarakat. Tidak seperti “kantor” (seperti kantor perpustakaan dan arsip daerah) yang bercitrakan milik instansi, milik pemerintah. Menjadi ruang publik artinya bahwa masyarakat bebas berpartisipasi dalam berbagai kegiatan perpustakaan. Bahkan sampai berpartisipasi dalam membuat kebijakan perpustakaan melalui wadah yang disebut dengan Library Board of Commissions.

Di Indonesia pun sebenarnya ada yang disebut dengan Dewan Perpustakaan yang merupakan amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan. Akan tetapi belum ada satu pun daerah yang sudah memiliki Dewan Perpustakaan dan berperan aktif.

Perpustakaan memiliki berbagai macam galeri. Sebagai contoh, ada yang disebut dengan ruangan Beethoven Center. Ruangan ini memuat berbagai macam media yang berhubungan dengan Beethoven: draft asli penciptaan lagu, buku-buku tentang Beethoveen, artefak, dan lain-lain. Di ruangan ini juga dibuka kursus bermain musik klasik yang memainkan karya-karya Beethoven. Para pengunjung dapat memberikan donasinya di ruangan ini untuk biaya perawatan dan pengembangan.

Kami juga mengunjungi perpustakaan sekolah. Koleksi perpustakaan sangat beragam tidak didominsi oleh buku-buku pelajaran, seperti layaknya perpustakaan umum. Proses belajar-mengajar sering juga dilakukan di perpustakaan dengan bantuan teknologi informasi (internet). Petugas layanan dibantu oleh para relawan yang terdiri dari para murid. Perpustakaan dijadikan tempat berdiskusi dan juga tempat yang nyaman untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Perpustakaan benar-benar dijadikan sebagai pusat belajar dan pusat referensi bagi para sivitas sekolah, terutama oleh para murid.

Di hari yang lain kami mengunjungi perpustakaan komunitas. Perpustakaan ini dijadikan markas oleh para imigran dari berbagai negara. Perpustakaan dikelola sepenuhnya oleh para relawan. Perpustakaan komunitas dijadikan sebaga pusat advokasi terhadap penjualan manusia (humman traficking), korban kekerasan keluarga, dan memberi perlindungan kepada para imigran yang terlantar.

Di tempat ini para imigran dibina, dilatih, dan diajari bahasa Inggris. Dan di tempat ini saya sempat tertarik pada seorang aktivis perempuan dari Mongolia. Pada saat bicara saya bisa melihat seorang perempuan mandiri dari intonasi dan ekspresi wajahnya. Saya seperti berhadapan dengan Che Guevara yang mengajak membuat revolusi.

Mungkin seperti inilah sosok Nyai Ontosoroh dalam novel tetraloginya Pramoedya Ananta Toer. Itulah figur wanita sebagai alumnus dari “kawah candradimuka” yang berupa perpustakaan komunitas. Dari mana mereka mencari pendanaan?. Dengan aktif semua relawan menjadi tim pencari dana. Mereka membuat berbagi program. Dengan media promosi yang dibuat sendiri mereka setiap hari bergerak ke berbagai kalangan mencari donatur.

Di negara mana pun anggaran atau dana merupakan sumber yang sangat penting dan selalu merasa kekurangan termasuk di Amerika. Akan tetapi dengan berpikir kreatif kendala ini dapat dieliminasi dengan mencari sumber alternatif pendanaan Rata-rata mereka memiliki sumber pendanaan utama dari negara, dan sumber anggaran alternatif dari sumbangan perusahaan (CSR), dan donatur. Anggaran alternatif diusahakan oleh para relawan yang jumlahnya ratusan. Mereka berhimpun dalam sebuah organisasi yang disebut dengan Friend of Library.

Saya sempat heran juga mengapa di Amerika begitu banyak orang yang menjadi relawan. Dan mereka bangga menjadi relawan. Ternyata bagi mereka dengan menjadi relawan berarti kesempatan untuk aktualisasi diri dan mengasah potensi sebelum menjadi seorang profesional. Saya sempat mengunjungi rumah relawan yang usianya mendekatai umur 70 tahun. Saya menanyakan mengapa mereka tertarik menjadi relawan. Mereka mengatakan bahwa sebelum meninggal mereka ingin berguna bagi orang lain. Padahal mereka mungkin tidak pernah belajar tentang ‘amal jariyah.

Karena keterbatasan ruang, sebenarnya banyak program dan kegiatan belum sempat diceritakan yang dapat diadaptasi untuk diterapkan di Indonesia. Pendek kata, dari hasil kunjungan yang singkat seperti diceritakan di atas saya semakin yakin bahwa budaya baca merupakan pondasi kemajuan sebuah bangsa, dan saya dapat menyimpulkan pantas Amerika menjadi negara maju. Di tanah air saya sempat mengunjungi lebih dari 30 perpustakaan umum daerah kota dan kabupaten serta berbagai perpustakaan lembaga pendidikan, dan saya juga dapat menyimpulkan pantas Indonesia susah menjadi negara maju.

Oleh: Suherman

 

Melihat Kemajuan Amerika Dari Perpustakaannya

You May Also Like

About the Author: Manasuka

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *