Literasi Di Balik Jeruji Besi

Literasi Di Balik Jeruji Besi

“Penjara adalah universitas terbaik di dunia ini” kata Malcolm X. Dia berkata seperti itu karena tidak pernah memasuki bangku kuliah bahkan sekolah SMP pun tidak tamat. Satu-satunya tempat ia belajar untuk menjadi seorang intelektual adalah penjara. Selama 10 tahun dia hidup di penjara dan selama itu pula ia bergulat setiap hari dengan buku (otodidak). Selama di dalam penjara dia berhasil mentransformasi diri atau melakukan revolusi mental—dengan  menanamkan tradisi literasi (membaca)—dari  seorang bajingan menjadi seorang intelektual bahkan dianggap sebagai pahlawan.

Dari sejarah para pahlawan nasional kita juga dapat belajar bahwa penjara merupakan salah satu tempat untuk menempa diri  secara literasi. Tanpa dibui mungkin tidak akan lahir Indonesia Menggugat dari Bung Karno dan Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka. Tanpa di buang ke Pulau Buru mungkin tidak akan lahir  tetralogi : Bumi Manusia, Jelek Langkah, Anak Semua Bangsa, dan Rumah Kaca karya Pramoedya  Ananata Toer, dan karya Pulau Buru lainnya. Kalau tidak diasingkan ke Tanah Merah (Digul) mungkin tidak akan terbit Alam Pikiran Yunani karya Bung Hatta yang kelak dijadikan mahar untuk menyunting Ibu Rahmi. Bahkan Soekarno sendiri mengakui bahwa dia mengenal lebih jauh tentang  Agama Islam dengan cara banyak membaca waktu beliau di penjara.  Dan banyak lagi karya intelektual dari penjara.

Dilandasi oleh cerita tersebut di atas maka saya bermimpi apabali suatu hari bisa menyambangi penjara untuk melakukan penyadaran tentang pentingnya membaca di kalangan para napi.  Dan mimpi saya ini menjadi kenyataan. Pada tahun 2012 saya bekerja sama dengan Perpustakaan Umum Daerah Kabupaten Ciamis Jawa Barat mengadakan kegiatan safari budaya baca ke berbagai segmen masyarakat, salah satunya ke penjara. Melalui kegiatan ini diharapkan minat membaca bisa tumbuh di kalangan para napi. Dan apabila sudah tumbuh maka kehidupan napi akan diisi dengan kegiatan membaca tentang berbagai bidang yang mereka sukai.

Dari kegiatan membaca ini kelak akan merubah pola pikir dan akhirnya bisa mengubah karakter mereka. Kelak setelah keluar  dari penjara mereka menjadi manusia baru yang siap untuk beradaptasi kembali dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Lebih jauh lagi kami berharap para alumni penjara ini akan  menjadi “Malcolm X” yang lain yang bisa mengubah dunia, ya paling tidak dunianya sendiri.

Dari berbagai cerita ternyata bermacam-macam cara terpidana dalam mengisi hidup di dalam penjara. Ada yang mengasah keahlian kriminalnya dengan berguru kepada napi lain yang lebih ahli. Sehingga  sering terdengar perkataan masuk penjara sebagai penjahat kelas teri dan keluar  menjadi penjahat kelas kakap. Penjara menjadi “sekolah” untuk menaikkan kelas atau status kekriminalannya. Tetapi ada juga yang memanfaatkan penjara sebagai tempat istirahat yang paling sempurna karena tanpa banyak diganggu, sehingga  dalam masa hukuman banyak diisi dengan kegiatan ibadah dan renungan.  Dan yang paling menarik adalah yang dilakukan para politisi. Mereka menjadikan penjara sebagai “kawah candradimuka “ yang mesti dilalui untuk kemudian menjadi orang besar atau pahlawan.

Penjara bukan hanya sebagai lembaga pemasyarakatan atau pembinaan akan tetapi bisa menjadi lembaga pendidikan  yang efektif untuk akselerasi pembentukan  karakter manusia berbasis literasi. Situasi dan kondisi di penjara sangat mendukung untuk melakukan kontrol yang ketat terhadap proses pendidikan para napi. Para napi sangat mungkin untuk fokus karena faktor pengalih perhatian (nonton, kongkow, dan lain-lain kegiatan yang hanya membuang waktu) yang terbatas bahkan tidak ada, sedangkan waktu yang tersedia cukup luang.

Di mana-mana penjara melebihi kapasitas, di masa depan semoga tidak semakin panjang  antrean ini. Beragam motif mereka berbuat kriminal. Saya mengimpikan penjara menjadi semacam lembaga pendidikan istimewa untuk mendidik manusia yang tangguh. Dengan berbekal keberanian dan kenekadan yang telah mereka memiliki tinggal diarahkan ke perilaku yang positif.

Bertahan menggelosot di atas tegel tanpa alas, dari pagi hingga siang hari mereka bertahan.  Yang dijalankan di lembaga pemasyarakatan terkadang terapi efek jera bukan penyadaran. Sebenarnya mereka bisa diterapi dan direhabilitasi dengan metode literasi yang disebut dengan bibliotheraphy yang dapat menumbuhkan sebuah kesadaran bahwa yang mereka lakukan selama ini hakikatnya hanya merugikan diri sendiri dan orang lain. Tidak ada cara lain untuk meraih kemulian hidup selain dengan  pengetahuan yang salah satu instrumen utamanya adalah membaca.

Duh, Gusti! Anak-anak seusia mereka semestinya tidak dihabiskan di dalam penjara.  Ini terjadi karena mereka tuna-literasi  dan tuna-perhatian orang tua. Hidup mereka  tidak terarah yang akhirnya mereka menjadi “anak-anak zaman”  yang semakin buas menerkam mangsa.

Dengan sentuhan yang mampu membuka kesadaran, pola pikir,  dan paradigma sebenarnya mereka siap untuk berubah. Testimoni dari seorang napi, sambil bercucuran air mata berjanji akan menjadi ustadz bila keluar dari penjara.

Seandainya di setiap penjara ada buku mungkin mereka akan menjadi “para penghuni penjara yang mengubah dunia.” Mereka bisa “ngapak dunya lantaran maca (keliling dunia karena membaca—bhs. Sunda)” Tidak tersiksa di dalam sempitnya ruang penjara.

Literasi Di Balik Jeruji Besi

You May Also Like

About the Author: Manasuka

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *