Bangsa Dalam Bahaya

Bangsa Dalam Bahaya

Indonesia ditakdirkan memiliki kekayaan alam yang melimpah dengan musim tropis yang sangat nyaman. Gambaran surgawi Indonesia sering dilukiskan oleh para penyair, filusuf, budayawan dan para ilmuwan. Sehingga tidak heran apabila Indonesia memiliki banyak julukan yang terkadang membius seperti misalnya jamrud khatulistiwa, surga yang bocor, sepenggal firdaus, bahkan ada yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan Indonesia pada saat tersenyum.

Daya pesona selain anugerah juga bisa menimbulkan petaka sebagaimana tercatat dalam sejarah kolonialisme. Karena tergiur oleh keelokannya itulah bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda datang ke Indonesia bukan untuk piknik atau liburan menikmati pemandangan alam yang indah. Mereka datang dengan cara menjajah Indonesia terutama demi rempah. Indonesia memiliki sekitar 40.000 spesies tanaman tumbuh di Indonesia (55% endemik), 1.845 spesies diinventarisasi, 940 spesies diidentifikasi. Indonesia juga memiliki banyak tanaman obat, tapi hanya 283 spesies (0,7%) dari spesies populasi terdaftar di BPOM.

Akan tetapi mungkin karena sangat dimanjakan oleh alam itulah, tentu saja selain karena juga sistem atau kebijakan yang buruk, seringkali meninabobokan masyarakat sehingga malas bekerja dan berpikir keras untuk menghasilkan karya kreatif dan inovatif. Akibatnya adalah kekayaan alam yang dimiliki tidak sebanding dengan kemakmuran rakyatnya.

Bahkan para cendikiawan banyak yang menyebutkan bahwa Indonesia terkena kutukan sumber daya alam atau paradoks keberlimpahan. Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, terutama sumber daya non-terbarukan seperti mineral dan bahan bakar, cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan wujud pembangunan yang lebih buruk ketimbang negara-negara yang sumber daya alamnya langka. Hal tersebut terjadi karena kita memiliki SDM atau daya saing yang rendah dibandingkan dengan sesama negara ASEAN sekalipun apalagi kalau dibandingkan dengan negara-negara maju di Barat.

Dari hasil kajian World Economic Forum (WEF) dalam The Global Competitiveness Report 2012-2013 Indonesia menempati urutan kelima di bahwa Thailand, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Lembaga media massa multinasional Bloomberg mengeluarkan survei peringkat negara sengsara (the most miserable country) di dunia pada Maret 2015 dan Indonesia ternyata berada di urutan ke-15 dengan barometer angka inflasi dan pengangguran.

Berita duka yang tidak kalah memilukannya dikemukakan oleh Arief Hidayat, guru besar Universitas Diponegoro yang juga menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), “Bangsa Indonesia saat ini sudah kehilangan arah dan tujuan kehidupan berbangsa, kalau pun ada, sudah menurun sangat jauh. Bangsa Indonesia juga sudah kehilangan kepercayaan di antara lembaga dan di antara warga negara. Bangsa Indonesia sudah mengalami disorientasi kolektif soal kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu terjadi bersamaan dengan kondisi bangsa yang sedang mengalami distrust antara sesama anak bangsa.”

Tak mau ketinggalan budayawan Radhar Panca Dahana pun mendiagnosis bahwa, “bangsa kita sedang mengalami kondisi cara berpikir yang kacau, ketidakadilan ekonomi dan politik, ditambah desakan materialisme-hedonis yang menggempur daya tahan mental, membuat pemahaman hingga keyakinan religius terus terguncang. Agama sudah tidak lagi diposisikan sebagai acuan normatif, nilai atau perilaku, tetapi dijadikan sebagai payung spiritual semata untuk antara lain melindungi kekhilafan, kesalahan brulang bahkan kejahatan.

Bangsa sedang dirundung dengan kebudayaan pandir, tanpa kecerdasan dan kedalaman, tanpa keindahan dan kearifan.” Dalam tulisan yang lain Radhar juga menggambar kondisi Indonesia kini dengan sangat getir, “Kehidupan kita sebagai manusia (baik tingkat personal hingga nasional) mesti jujur diakui berada dalam situasi seperti dikejar hantu dan hantu itu tidak berada di belakang, tapi justru di masa depan. Semua kalangan yang berpikir tentu mafhum, betapa banyak persoalan kritis—bahkan sangat kritis—menanti kita tidak lama lagi di hari mendatang.

Mudah-mudahan tidak menambah sesak dada kita, saya tambahkan satu pendapat lagi dari budayawan Jakob Sumardjo tentang situasi Indonesia sekarang ini, “Bangsa ini memang sedang bingung. Mana yang benar mana yang salah, mana pemimpin dan mana bukan pemimpin, sedang ngomong benar atau sedang ngibul sudah tidak jelas lagi bedanya. Seperti anak-anak ayam yang bingung kehilangan induknya, begitu pula bangsa ini: bingung karena tak punya lagi induk.

Tetapi di tengah situasi dan kondisi seperti dia atas ada berita yang “menggembirakan”, Wealth Insight melaporkan bahwa pertumbuhan orang kaya di Indonesia mencapai 22,6% (45.300 orang) atau menjadi laju borjuis tertinggi sejagat. Pertumbuhan borjuisme bersamaan dengan pertumbuhan kemiskinan sehingga menghasilkan jurang ketimpangan yang semakin dalam. “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” sebagaimana dinyanyikan oleh Sang Raja Dangdut Rhoma Irama di era tahun tujuh puluhan masih relevan hingga hari ini.

Itulah beberapa kutipan yang dikemukakan oleh pakar, budayawan, pejabat dan para pemimpin. Tentu saja kita semua tidak meragukan integritas dan nasionalisme atau cinta kasih mereka pada tanah air. Mereka mengemukakan itu semua karena memiliki panggilan nurani atau panggilan moral sebagai anak bangsa untuk bersama-sama melakukan perbaikan. Semua itu mereka lakukan sebagai sebuah diagnosis atau otokritik supaya dapat memberikan solusi yang tepat untuk melakukan perbaikan demi masa depan Indonesia yang lebih baik.

Mungkin di antara kita sudah banyak yang bosan bahkan mual membaca, menyaksikan atau menyimak data dan informasi tentang kelemahan dan kekurangan negara kita. Kita juga sudah muak menyaksikan festivalisasi kesengsaraan rakyat dan kebebalan pemimpin yang hampir setiap hari menghiasi negeri ini.

Lalu apa yang mesti kita lakukan ? Karena kritik tanpa solusi atau menyalahkan tanpa bisa memberikan jalan hanya akan menambah permasalahan. Untuk itu, alangkah akan “lebih baik menyalakan sebuah lilin daripada mengutuk kegelapan.”

Sebuah upaya reinventing Indonesia harus dilakukan untuk menyambut apa yang disebut dengan kelahiran kembali Indonesia atau renaisans Indonesia. Kita harus bisa keluar dari “spiral kebodohan” yang sedang melilit bangsa ini. Untuk itu semua, upaya yang harus dilakukan di antaranya adalah , “para negarawan harus memfokusikan diri pada hanya satu first quation of government yaitu how should we live atau what kind of people do we want our citizen to be?”

Untuk lebih lengkap lagi dalam memahami problematika Indonesia, dalam tulisan lain dibahas secara lebih detil dan panjang lebar permasalahan-permasalahan bangsa yang dibagi kedalam beberapa bidang strategis seperti pendidikan, politik khususnya masalah penerapan sistem demokrasi, dan masalah ekonomi yang dibatasi pada daya saing bangsa. Semuanya dibahas dalam konteks rendahnya budaya baca bangsa Indonesia.

Oleh: Suherman

 

Bangsa Dalam Bahaya

You May Also Like

About the Author: Manasuka

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *