Masalah Indonesia dalam Daya Saing Global

Masalah Indonesia dalam Daya Saing Global

“Kalau bisa beli mengapa harus bikin sendiri.” Itu adalah kata-kata untuk menggambarkan betapa mentalitas bangsa yang tidak mau susah, tidak mau repot, dan tidak mau berpikir. Juga menggambarkan jiwa yang konsumtif dan jauh dari pribadi yang inovatif.

Dari kata-kata tersebut juga terbayang seberapa tinggi kualitas sumber daya manusia atau bangsa. Dalam era persaingan yang semakin garang seperti sekarang ini setiap entitas terutama sektor privat dituntut untuk lebih memeras otak lebih keras lagi demi melahirkan karya-karya kreatif dan inovatif. Sehingga slogan inovasi atau mati menjadi pertaruhan eksistensi.

Tapi ironisnya, minat kaum muda kepada pendidikan sains dan rekayasa—cabang ilmu wajib untuk berinovasi—cenderung melempem. Minimnya dalam menghasilkan inovasi ini maka tidak heran bila negara kita sering diledek dengang sebutan “Black Berry Nation” yaitu sebuah julukan untuk menggambarkan bahwa negara kita merupakan sasaran empuk untuk produk-produk cerdas negara lain.

Ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy) sudah menjadi strategi bahkan nilai di banyak perusahaan. Pengetahuan adalah kekuasaan sudah menjadi nilai dasar atau keyakinan dan sudah diimplementasikan di banyak perusahaan atau organisasi.

Negara-negara maju adalah negara-negara yang menjadikan pengetahuan sebagai asset berharganya (intengible asset) dan sebaliknya, negara-negara yang masih menjadikan sumber daya alam sebagai assetnya (tengible asset) lambat laun menjadi negara yang tertinggal, tidak bisa adaptif dengan perubahan zaman disebut juga dengan negara fosil atau negara dinosaurus dan lain-lain sebutan yang menggambarkan kejumudan atau menjurus ke kemusnahan.

Banyak pengamat yang mengkhawatirkan kesiapan Indonesia dalam menghadapi pertarungan ini. Karena liberalisasi yang berjalan sejauh ini lebih banyak menempatkan Indonesia sebagai pasar ketimbang sebaliknya. Liberalisasi tidak diikuti peningkatan kemampuan produksi pangan, energi, dan industri manufaktur dalam negeri sehingga menyebabkan banjir barang impor.

Sejak mengikuti perdagangan bebas, sektor pertanian terpinggirkan karena produktivitasnya rendah. Strategi swasembada pangan tidak dianjurkan karena dianggap terlalu mahal, mulai dari penyediaan bibit, pupuk, irigasi, dan subsidi. Maka tidak heran kalau Indonesia menjadi negara pengimpor komoditas pertanian. Di bidang energi, pemerintah menyerahkan penggarapan wilayah kuasa ke mitra asing sehingga lebih dari 80 persen blok migas Indonesia dikuasai asing.

Perusahaan asing dianggap kuat karena modal besar, teknologi tinggi, dan memiliki manajemen risiko yang baik. Kebijakan ini membuat perusahaan swasta nasional sulit berkompetisi. Padahal, UUD 1945 mengamanatkan sektor tersebut harus dikuasai negara. Kepemilikan asing di bank domestik boleh sampai 99 persen. Malah menurut UNEP (United Nations of Environment Program) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara paling konsumtif keempat se-Asia Pasifik.

Di tingkat regional Pasar tunggal ASEAN yang salah satu pilarnya adalah pembentukan pasar tunggal ASEAN. Sebaga pasar tunggal, semua hambatan perdagangan akan dihapuskan. Lima sektor jasa yang disepakati liberalisasi adalah jasa kesehatan, pariwisata, e-commerce, transportasi udara, dan logistik. Tenaga profesional dan buruh yang melintas batas negara ini harus memenuhi standar yang sudah ditetapkan di ASEAN.

Kekhawatiran muncul terutama terkait dengan ketidakpastian tenaga kerja Indonesia. Berdasarkan survei Asian Produductivity Organization 2004, dari setiap 1000 tenaga kerja Indonesia hanya 4,3 persen yang tergolong terampil, sementara Filipina 8,3 persen, Malaysia 32,6 persen, dan Singapura 34,7 persen.

Sejumlah ekonom pada sebuah diskusi di Kompas mencemaskan jika tidak hati-hati, Indonesia bisa sekedar jadi pasar bagi negara ASEAN lain. Rendahnya kualitas pembangunan ekonomi dan kualitas sumber daya manusia membuat kemampuan Indonesia memanfaatkan peluang MEA sangat rendah dan bangsa Indonesia akan semakin kehilangan daya saing.

Untuk bisa maju, berkembang, dan bangkit bersama Asia, Indonesia harus memberikan prioritas pada peningkatan kualitas SDM dan memodernisasi ekonominya agar berdaya saing tinggi, menggarap ekonomi domestik menjadi berasiodikari, dan mengurangi ketimpangan.

Menurut laporan Boston Consulting Group (BCG), Saat ini, Indonesia sedang menghadapi kekurangan manajer tingkat menengah, tetapi pada 2020, kesenjangan antara permintaan dan penawaran akan semakin tinggi, mencapai 56 persen. Perusahaan-perusahaan besar di Indonesia hanya bisa mengisi sekitar setengah kebutuhan pekerja tingkat pemula dengan kandidat yang benar-benar berkualitas.

Di tingkat senior, jumlahnya akan lebih rendah, tetapi banyak kandidat yang kurang memiliki pengalaman global dan kemampuan memimpin yang baik. Kekurangan tenaga kerja ini berakar pada lemahnya sistem pendidikan nasional dalam mempersiapkan pelajar untuk menghadapi dunia kerja. Hanya 22 persen dari populasi usia kuliah di Indonesia yang melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas.

Kualitas tenaga kerja Indonesia kalah jauh karena sekitar 70 persen berpendidikan lebih rendah dari SMP. Rata-rata lama sekolah hanya 5,8 tahun. Hal tersebut menjadikan kualitas manusia Indonesia di ASEAN hanya lebih baik dari Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar. Porsi tenaga kerja lulusan perguruan tinggi mulai dari program diploma I hingga doktor mencapai 8 persen. Namun, tingkat pengangguran di kelompok pekerja dengan pendidikan tinggi itu justru besar, sekitar 1 juta orang.

Terbatasnya lowongan kerja, sistem pendidikan yang tidak berkait dengan kebutuhan dunia kerja, dan rendahnya keinginan berwirausaha menyuburkan pengangguran terdidik. Persaingan pasar tengara kerja domestik akan semakin kompetitif dan sebentar lagi tenaga kerja Indonesia akan bersaing dengan pencari kerja dari negara-negara ASEAN. Pendidikan menjadi kunci memenuhi kebutuhan tengara kerja produktif. Perekonomian Indonesia saat ini ibarat sebuah rumah dengan pondasi di atas tanah berpasir. Begitu datang banjir, pasir tergerus dan rumahnya pun goyang dan berpotensi runtuh.

Bonus Demografi

Di antara fakta-fakta yang merisaukan di atas, ada secercah harapan yang justru datang dari jumlah penduduk Indonesia yang banyak. Pada tahun 2015-2030 Indonesia akan mendapatkan keuntungan dari banyaknya usia produktif yang diistilahkan dengan bonus demografi.

Menurut perhitungan para ahli demografi, pada puncak bonus demografi nanti dari 100 penduduk usia produktif terdapat 44 penduduk usia muda dan lanjut usia. Dengan penurunan proporsi penduduk usia muda, maka akan mengurangi besarnya biaya investasi untuk pemenuhan kebutuhannya sehingga sumber daya dapat dialihkan kegunaannya untuk memacu pertumbuhan ekonomi kesejahteraan.

Mungkin akan menjadi bonus seandainya penduduknya berkualitas, kalau tidak maka yang akan terjadi adalah bom demografi, yang akan mengakibatkan petaka sosial yang lebih dahsyat. Oleh karena itu, supaya bonus demografi menjadi jendela peluang (window of oppurtunity) sebagaimana sering disebutkan oleh para ahli, maka diperlukan berbagai strategi jitu khususnya untuk peningkatan kualitas pendidikan.

Meski Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar namun memiliki kapabilitas yang rendah. Dengan adanya bonus demografi di masa yang akan datang, nampaknya tidak akan mampu menciptakan inovasi jika tidak disertai dengan peningkatan kapabilitasnya.

Tentu saja kreativitas dan sifat inovatif bangsa sangat ditentukan oleh kapasitas dan kapabilitas penduduknya. Tinggi rendahnya kualitas seorang pribadi, organisasi, dan bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Dari sejarah peradaban kita dapat berkaca tidak ada orang, organisasi atau bangsa yang berpengetahuan hidup susah atau sengsara.

 

Masalah Indonesia dalam Daya Saing Global

You May Also Like

About the Author: Manasuka

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *