Dalam dunia industri pada abad ke-19, sistem pendidikan yang dirancang dalam satu ukuran untuk sernua (one-size-firts-all) cukup membantu mengurangi pelecehan terhadap tenaga kerja anak dan membawa kesempatan bagi dunia luas. Pada tahun 1950-an, banyak orang mampu mendapatkan pekerjaan layak dengan kemampuan yang terbatas. Tapi keadaan berubah dengan dramatis.
Pekerjaan menuntut latar belakang pendidikan yang tinggi. Dalam waktu yang bersamaan, sekolah dituntut untuk mengikuti perkembangan semacam itu dan juga perubahan-perubahan yang terjadi seperti perubahan dalam struktur keluarga, perubahan tren dalam kebudayaan populer dan pertelevisian, konsumerisme, kemiskinan, kekerasan, pelecehan anak, kehamilan pada masa remaja, dan perubahan sosial yang terus-menerus. Di lain pihak, sekolah juga mengalami tekanan terus-menerus untuk menekan laju perubahan, untuk lebih konservatif, untuk tetap menjalankan kebiasaan-kebiasaan tradisional, dan tidak meninggalkannya.
Belakangan ini, sejalan dengan makin besarnya tantangan yang harus dihadapi lembaga pendidikan, muncul sejunalah usaha untuk memperbarui konsep atau gagasan tentang apa yang disebut sebagai sekolah berkualitas.
Lima kriteria sekolah berkualitas
Salah satu konsep terkemuka dalam hal ini adalah lima prinsip pendidikan yang ditawarkan Peter Senge dalam The School That is Learn (2003). Dirumuskan dalam rangka mengimbangi arus globalisasi yang meluas di bidang pendidikan, lima prinsip pendidikan ini menekankan pentingnya melihat sekolah dan atau proses pembelajaran sebagai suatu institusi pendidikan semacam perusahaan yang memerlukan kerja kelompok dan menuntut keahlian tertentu.
Seperti kita ketahui bersama, ada beberapa keahlian yang dapat dimiliki seseorang dalam mengelola pendidikan seperti, bertindak dengan otonomi yang Lebih luas, berani mengambil kesimpulan, memimpin juga dipimpin, mempertanyakan masalah yang sulit dengan sikap yang baik, dan menerima kekalahan sehingga mampu membangun kemampuan untuk keberhasilan di masa mendatang.
Semua itu adalah sikap yang dibutuhkan dalam organisasi pembelajaran dan masyarakat. Kemampuan menyinergikan lima prinsip disiplin kolektif menurut Peter Senge ini dimaksudkan untuk meraih keahlian-keahlian yang akan dapat membantu setiap sekolah di Indonesia menghadapi tekanan dan dilema dalam mengelola pendidikannya.
Secara ringkas kelima disiplin kolektif tersebut sebagai berikut.
Pertama, penguasaan diri (personal mastery), merupakan praktik mengartikulasikan gambaran koheren dari pandangan para pribadi yang terlibat dalam setiap sekolah, hasil yang paling ingin kita dapatkan dalam hidup, di samping pengamatan nyata dari kehidupan sehari-hari. Ketika terakumulasi, ini bisa menghasilkan keinginan alami yang dapat meningkatkan kapasitas dalam membuat pilihan-pilihan yang lebih baik dan menerima hasil lebih dari yang dipilih secara berkelompok. Setiap pengelola sekolah harus berlaku jujur dalam mengemukakan kelemahan dan kelebihan situasi terkini sekolahnya dan mendukung setiap aspirasi yang tumbuh dan berkembang dari anak didik.
Kedua, keberanian setiap pengelola sekolah untuk berbagi pandangan (shared vision), sebuah disiplin kolektif yang .menekankan perhatian pada tujuan bersama. Sekelompok orang dengan tujuan yang sama dapat belajar untuk mempertahankan komitmen dalam suatu kelompok atau organisasi dengan mengembangkan pandangan yang sama tentang masa depan yang ingin dicapai, prinsip-prinsip serta guiding practices yang mereka ciptakan bersama.
Disiplin kolektif ketiga yang menjadi perhatian Peter Senge adalah pembentukan mental (mental models), sebuah disiplin yang ingin menekankan sikap pengembangan kepekaan dan persepsi, baik dalam diri sendiri atau orang sekitarnya. Bekerja dengan membentuk mental ini dapat membantu kita untuk lebih jelas dan jujur dalam memandang kenyataan terkini. Karena pembentukan mental dalam pendidikan sering kali tidak dapat didiskusikan, dan tersembunyi, maka kritik yang harus diperhatikan oleh sekolah yang belajar adalah bagaimana kita mampu mengembangkan kapasitas untuk berbicara secara produktif dan aman tentang hal-hal yang berbahaya dan tidak nyaman. Selain itu, pengelola sekolah juga harus senantiasa aktif memikirkan asumsi-asumsi tentang apa yang terjadi dalam kelas, tingkat perkembangan siswa, dan lingkungan rumah siswa.
Keempat, bentuklah kelompok belajar (team learning), sebuah disiplin dalam interaksi kelompok. Melalui teknik-teknik seperti dialog dan skillful discussion, sekelompok kecil orang dapat mentransformasikan pikiran kolektif mereka, belajar memobilisasi energi dan kegiatan mereka untuk mencapai tujuan bersama dan mengembangkan kepandaian dan kemampuan mereka lebih besar ketimbang jika bakat anggota kelompok digabungkan. Kelompok belajar dapat dikembangkan dalam kelas, antara guru dan orang tua murid, antaranggota komunitas, dan dalam kelompok utama yang mengejar perubahan sukses dalam sekolah.
Adapun yang terakhir adalah disiplin kolektif tentang sistem berpikir (systems thinking). Dalam disiplin ini kita belajar memahami ketergantungan dan perubahan, sehingga kita dapat menghadapi dengan lebih aktif tekanan yang membentuk konsekuensi dari sebuah tindakan. Peralatan dan teknik yang digunakan dalam melatih sistem berpikir ini seperti diagram stock and flow, dan berbagai simulasi yang membantu siswa untuk memahami lebih dalam dari apa yang dipelajari.
5 Kriteria Sekolah Berkualitas