Tradisi Literasi dari Pangeran Diponegoro

Tradisi Literasi dari Pangeran Diponegoro

UNESCO pada tanggal 20 Juni 2013 memberi pengakuan International Memory of the World (MOW) Register untuk naskah Babad Diponegoro. Naskah ini merupakan otobiografi atau perjalanan hidup Pangeran Diponegoro yang ditulis selama masa pengasinggannya di Manado, Sulawesi Utara, Mei 1831 hingga Februari 1832.

Babad Diponegoro menjadi naskah utama penulisan biografi Diponegoro oleh Peter Carey dengan judul Power of Prohecy yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi Kuasa Ramalan (diterbitan oleh KPG tahun 2012). Dari karya Carey inilah saya dapat mengetahui sosok Sang Pangeran.

Sebagai bangsa Indonesia,  kita patut berterima kasih dan memberikan penghargaan kepada Peter Carey atas kesabaran dan keuletannya  selama 40 tahun mendalami sosok Diponegoro. Satu lagi karya bergengsi tentang pahlawan besar nasional yang ditulis oleh orang asing. Sebelumnya telah terbit juga misalnya Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik karya Harry A. Poeze, seorang sejarawan Belanda, yang juga mendalami Tan Malak selama lebih dari 40 tahun. Bisakah kita, bangsa Indonesia, memilki keuletan sebagaimana Carey dan Poeze? Soekaro Penyambung Lidah Rakyat oleh Cindy Adam  dan Soekarno oleh Bernard Dahm. Biografi Gus Dur di tulisan oleh Greg Barton. Rasanya malu juga mengenal para  pahlawan dan orang besar bangsa sendiri dari bangsa lain

Dari hasil membaca Kuasa Ramalan,  ada sisi kehidupan Sang Pangeran yang menarik perhatian saya sebagai seorang pustakawan yaitu kebiasaan membacanya. Ternyata Diponegoro adalah seorang otodidak dan kutu buku yang memiliki kegemaran mempelajari sejarah.  Apa yang saya tulis dalam buku saya, Mereka Besar Karena Membaca ( Bandung: Literate Publishing, 2012), “pahlawan tanpa tanda jasa mungkin saja ada, tapi pahlawan tanpa tanda baca akan sulit mencari figurnya dalam sejarah”,  mendapat bukti baru dari buku Kuasa Ramalan ini.

Diponegoro sangat bersemangat mempelajari, dengan cara membaca,  kerajaan-kerajaan yang pernah jaya di nusantara terutama sangat mengagumi sosok  Sultan Agung Raja Mataram yang dianggapnya berhasil dalam memadukan antara alam dunia dan akhirat.  Kegemaran lainnya adalah membaca tentang mitologi terutama tentang pewayangan yang juga menjadi rujukan etika dan etiket kehidupan penduduk pada zamannya.

Tidak ketinggalan, dia juga mempelajari dengan serius legenda Ratu Laut Selatan atau Kanjeng Ratu Kidul, tokoh legenda yang sangat populer di kalangan masyarakat penghuni Pulau Jawa dan Bali. Legenda mengenai penguasa mistik pantai selatan mencapai tingkat tertinggi pada keyakinan yang dikenal di kalangan penguasa kraton dinasti Mataram Islam (Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta) bahwa penguasa pantai selatan, Kanjeng Ratu Kidul, merupakan “istri spiritual” bagi raja-raja di kedua kraton tersebut.

Semua literasi informasi,  baik mitos, legenda,  maupun ilmu pengetahuan dan fakta sejarah, diramu oleh Sang Pangeran menjadi justifikasi terhadap peran yang akan diembannya dikemudian hari—sesuai dengan ramalan yang telah dibuat oleh dirinya sendiri—sebagai raja Jawa.

Menurut Carey, dibanding dengan perkembangan sebagian besar anak-anak keluarga bangsawan Jawa pada masa itu, pertumbuhan intelektual dan spiritual Diponegro bisa dikatan sangat luar biasa pesatnya. Dia adalah seorang otodidak yang bersemangat. Tidak pernah mengalami pendidikan formal seperti di bangku sekolah. Dia belajar berbagai macam keilmuan dari ulama yang pernah datang ke Yogyakarta.

Diponegoro memperdalam beragam keilmuan dengan cara membaca berbagai ragam sumber bacaan. Di antara kesastraan Islam yang disukainya terdapat Kitab Tuhfah, yang berisi falsafah sufi tentang ajaran “martabat tujuh” yang sangat disukai oleh orang Jawa tatkala merenungkan Allah, dunia, dan kedudukan manusia di dalamnya.

Diponegoro juga sangat akrab dengan karya-karya teologi dan mistik Islam seperti ‘usul dan tasawuf, sebagaimana halnya dengan puisi-puisi mistik Jawa seperti suluk. Sejarah nabi-nabi dan tafsir Alquran. Karya-karya berisi ajaran keteladanan di bidang filsafat politik Islam seperti Sirat as-salatin dan Taj- as-salatin. Malah yang terakhir ia mewajibkan kepada adiknya supaya dibaca ketika ia sedang menyelesaikan pendidikannya di keraton.

Bidang lain yang mendapat perhatian khusunya adalah hukum amaliah atau fikih Islam: Taqrib, Lubab al-fiqh, Muharrar, dan Taqarrub (tafsir Taqrib) semua kitab tersebut sangat dikenalnya, dan dengan rasa bangga ia selalu menyebut kitab-kitab koleksi pribadinya yaitu  kitab tentang fikih Islam-Jawa yang dirawat oleh seorang sahabtnya di Yogyakarta selama berkecamuknya Perang Jawa.

Selain literasi naskah-naskah Islam-Jawa, Dipenogoro juga mempelajari karya-karya kesastraan Jawa yang sifatnya lebih moralis. Di dalamnya termasuk cerita-certia adiluhung tentang hal-ihwal kerjaan dan kenegaraan hasil saduran kisah-kisah klasik Persia dan Arab seperti Fatah al-Muluk (Kejayaan Para Raja), Hakik al-Modin, dan Nasihat al-Muluk (Nasihat bagi Raja), juga kisah-kisah klasik  Jawa Kuno versi  Jawa Baru seperti Serat Rama, Bhoma Kawya, Arjunawijaya, Arjunawiwaha, dan dia juga  akrab dengan kisah-kisah wayang Jawa Baru.

Diponegro juga pernah minta kepada pemerintah kolonialagar disalinkan keseluruhan naskah-naskah wayang purwa hingga ke Bratayuda. Naskah lain yang diminta oleh Diponegro pada masa pengasingannya di Makassar mencakup kisah-kisah kepahlawanan Islam terkenal, Menak Amir Hamza, Asmoro Supi, suatu kisa percintaan yang berkaitan dengan cerita-cerita Menak, Serat Manikmoyo, suatu naskah tentang kosmologi atau kisah asal-usul alam semesta yang berasal dari kurun mistik Islam di Kartasura yang berkaitan dengan dongeng-dongeng pertanian dan tradisi wayang, Serat Gondokusumo (Angling Driyo) dan Serat Angreni, satu bagian dalam cerita Panji.

Satu salinan kisah romantis Jawa populer, Joyo Lengkoro Wulang, yang ditulis dalam kulit kayu ditemukan di markas Diponegoro di Selarong, termasuk koleksi pribadinya. Naskah tersebut berisi tentang aneka ragam seni kenegarawanan dalam bentuk cerita tentang seorang pangeran muda yang berkelana ke seluruh Pulau Jawa dan bertemu dengan banyak guru di banyak bidang kehidupan yang sekolah, yang agamis, dan yang sarat mistik. Inilah jenis kisah yang punya daya tarik menyeluruh di kalangan pembesar keraton masa itu yang mencerminkan pendidikan ideal bagi para satria muda.

Itulah salah satu warisan penting dari Pangeran Diponegoro, dan juga semua pahlawan Indonesia, yaitu spirit  membacanya. Sesungguhnya spirit membaca inilah warisan para pahlawan yang sering terlupakan dan hampir tidak terwarisi kepada rakyat Indonesia hingga sekarang ini. Padahal, apa arti seorang Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan pahlawan lainnya, tanpa buku, tanpa membaca? Mungkin dapat pula dikatakan bahwa Indonesia merdeka berkat jasa para kutu buku, tentu saja bersama rakyat.

Tradisi Literasi dari Pangeran Diponegoro

You May Also Like

About the Author: Manasuka

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *